o.

BERCUMBU DENGAN TEORI SOSIAL KRITIS[1]

(Membaca Akar Kritik Ideologi  Madzab Frankfurt; Menuju Pemikiran Kritis)

Oleh; Nafi’ Muthohirin[2]

Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)

IAIN Sunan Ampel Surabaya

Sebuah teori akan menemukan pertentangannya, bila sudah terdapat teori lain yang berupaya membalikkan fakta terdahulu. Namun, akan tetap menjadi penting sebagai landasan teoritis-historis dalam kajian berikutnya.

Teori Kritis Madzab Frankfurt

Madzab Frankfurt merupakan kumpulan beberapa pemikir Jerman yang menganggap bahwa pemikiran Marx telah didistorsi oleh Engels dan para pemikir Lenin-Marxis yang diakibatkan oleh kegagalan revolusi kaum pekerja di Eropa Barat setelah perang dunia I dan oleh bangkitnya Nazisme di negara yang secara ekonomi, teknologi, dan budaya maju yaitu Jerman. Oleh karena itu, mereka merasa harus memilih bagian mana dari pemikiran-pemikiran Marx yang dapat menolong untuk memperjelas kondisi-kondisi yang Marx sendiri tidak pernah lihat. Pada awalnya pemikiran Marx dijadikan tolok ukur pemikiran sosial aliran tersebut. Akan tetapi ada yang berpendapat bahwa aliran Frankfurt merupakan perwujudan usaha untuk kembali mengkaji pemikiran-pemikiran Hegelian kiri (Hegelian Leftisme), yaitu pemikiran Hegel sekitar tahun 1840-an. Seperti Hegel dan Immanuel Kant, tokoh-tokoh Frankfurt tertarik dengan kajian mengenai filsafat dan ilmu-ilmu non alamiah seperti sosiologi, ekonomi, musikologi, ilmu politik dan lain-lain.

Cara berfikir Madzab Frankfurt dapat dikatakan sebagai teori kritik masyarakat. Maksud teori ini adalah membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern, khas pula apabila teori ini berinspirasi pada pemikiran dasar Karl Marx, meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa inspirasi teori kritis banyak didialogkan dengan aliran-aliran besar filsafat.[3]

Aliran Frankfurt atau dikenal dengan madzab Frankfurt merupakan sekelompok pemikir sosial yang muncul dari lingkungan Institute Of Social Research Universitas Frankfurt, yang dipelopori oleh Felix Weil pada tahun 1923. latar belakang didirikannya lembaga tersebut adalah karena terjadinya kemenangan revolusi Bolhesvick, kegagalan-kegagalan revolusi di Eropa Tengah khususnya di Jerman. Peristiwa itu membangkitkan semangat intelektual kiri Jerman untuk melakukan kajian kembali secara serius teori-teori Marxis khususnya yang berkaitan dengan akal budi dan praktik dalam kondisi-kondisi sosial yang baru. Misalnya, melakukan kajian mengenai cara bagaimana agar teori Marxis dapat terus relevan dan cocok untuk setiap perkembangan sosial.

Walaupun pada awalnya menjadikan pemikiran Marx sebagai titik tolak pemikiran sosilanya. Akan tetapi, seperti yang penulis tulis di atas bahwa Madzab Frankfurt tetap mengambil semangat dan alur pemikiran filosofis idealisme Jerman, yang dimulai dari pemikiran kritisisme ideal Immanuel Kant sampai pada puncak pemikiran kritisisme historis dialektisnya Hegel. Dengan sangat cerdas, sebagaian pemikir Madzab Frankfurt berdialog dengan Marx, Hegel, dan Kant.

Menuju Pemikiran Kritis

Jalan membentuk kerangka berfikir kritis, salah satunya bisa dipelajari melalui konsep kritik ideologi yang dihadirkan oleh para intelektual kritik Madzab Fankfurt. Terlepas dari begitu banyaknya teori yang membicarakan metode berfikir kritis, namun penulis yakin bahwa hampir semuanya merujuk pada kajian kritik ideologi dari Plato hingga Bourdieu. Konsep berfikir kritis, kiranya lebih ‘menohok’ bila dimulai dengan pengetahuan bagaimana pandangan madzab fankfurt periode pertama sampai kedua dalam menanggapi dominasi ideologi di masing-masing zamannya.

Secara menyeluruh, bisa dipastikan bahwa kemunculan pemikiran kritis para intelektual Madzab Frankfurt seperti Mark Horkeimer, Theodorno W. Adorno, dan Herbert Marcus karena mereka diliputi kegelisahan melihat realitas ketidakseimbangan agama, budaya, ilmu pengetahuan, bahkan ideologi. Madzab ini semakin terkenal karena anggotanya gemar mengeluarkan kritik-kritik tajam terutama masalah pencerahan (aufklarung) yang menurut mereka, gagal total. Menurut Bagus Takwin (2003) usaha pencerahan dalam pandangan mereka merupakan suatu paradoks antropologis. Manusia modern dalam upaya membebaskan diri dari kungkungan mitos, teologis, yang sifatnya ‘taken for granted’ telah merasionalisasi alam dan dirinya sendiri. Rasionalisasi dalam pengertian teori kritis adalah sebuah tindakan rasional bertujuan, yang berusaha menguasai realitas seefisien mungkin demi kepentingan-kepentingan yang terselubung (ekonomi, politik, dan sebagainya). Karena di dalamnya juga terkandung usaha penguasaan manusia, maka upaya pencerahan menghasilkan pula manusia-manusia yang tidak bebas, dikuasai oleh teknologi dan ilmu pengetahuan model abad pencerahan. Ini berarti usaha pencerahan malah membawa manusia kepada satu kungkungan dan penindasan baru. Manusia yang dibebaskan justru ‘tertindas’ oleh mitos baru: ilmu pengetahuan positivistik dan teknologi. Manusia seolah-olah objek tak berjiwa yang dapat dikuasai dan diutak-atik sedemikian rupa demi kepentingan industri kapitalistik dan kekuasaan.

Kritis dalam pandangan Kantian berarti usaha untuk memahami kondisi-kondisi yang membatasi rasio. Sedangkan kritis dalam pandangan Hegelian berarti rasio melakukan refleksi atas rintangan-rintangan, tekanan-tekanan, dan kontradiksi-kontradiksi yang menghambat rasio untuk melaksanakan proses pembentukan diri melalui sejarah. Dan dalam pandangan Marxis, kritik merupakan usaha-usaha emansipatoris terhadap penindasan dan alienasi yang dihasilkan oleh hubungan-hubungan kekuasaan dalam masyarakat. Bersikap kritis berarti tidak begitu saja menerima apa yang ditampilkan masyarakat. Dalam sudut pandang Freudian, kritik dipahami sebagai pembebasan individu dari irasionalitas menjadi rasionalitas, dari ketidaksadaran menjadi kesadaran.

Terma ‘kritis’ mendapatkan banyak pemaknaan pada masing-masing pemikiran. Namun semuanya tersebut dikatakan oleh Jurgen Habermas masih dalam ‘paradigma kerja’ sehingga teori kritis menemui kebuntuan di tangan para pendahulunya. Disebut oleh Shindunata bahwa para pendahulu teori kritis yang yang menggunakan pengertian kritik menurut pengertian Kantian, Hegelian, Marxian, dan Ferudian menemukan kebuntuan dalam proyek pembebasan manusia yang mereka lakukan (Shindunata, 1983; F. Budi Hardiman, 1990). Mereka mencapai kesimpulan bahwa emansipasi yang dilakukan oleh manusia sejak zaman yunani kuno hingga zaman modern pada akhirnya mengarahkan manusia pada irasionalitas. Emansipasi menghasilkan perbudakan, rasionalisasi menghasilkan irasionalitas, dan pencerahan menghasilkan kebutaan.

Habermas menegaskan rasio merupakan sesuatu yang berkaitan erat dengan kemampuan linguistik manusia. Sebagai ganti dari ‘paradigma kerja’, rasio didasarkan pada ‘paradigma komunikasi’. Manusia adalah makhluk komunikasi yang mencapai kebermaknaannya melalui proses komunikasi.

Asumsi Dasar Teori Kritis

Teori kritis sendiri merupakan teori yang tidak berkaitan dengan prinsip-prinsip umum, tidak membentuk sistem ide. Teori ini berusaha memberikan kesadaran untuk membebaskan manusia dari irasionalisme. Dengan demikian teori ini adalah emansipatoris. Ciri teori ini adalah :

  1. Kritis terhadap masyarakat. Teori kritis mempertanyakan sebab-sebab yang mengakibatkan penyelewengan-penyelewengan dalam masyarakat. Struktur yang rapuh ini harus diubah.
  2. Teori kritis berfikir secara historis. Artinya berpijak pada proses masyarakat yang historis. Dengan kata lain teori kritis berakar pada suatu situasi pemikiran dan situasi sosial tertentu, misanya material-ekonomis.
  3. Teori kritis tidak menutup diri dari kemungkinan jatuhnya teori dalam suatu bentuk ideologis yang dimiliki  oleh struktur dasar masyarakat. Inilah yang terjadi pada pemikiran filsafat modern. Menurut Madzab Frankfut, pemikiran tersebut telah berubah menjadi ideologi kaum kapitalis. Teori harus memiliki kekuatan, nilai dan kebebasan untuk mengkritik dirinya sendiri dan menghindari kemungkinan untuk mengkritik dirinya sendiri dan menghindari kemungkinan untuk menjadi ideologi.
  4. Teori kritis tidak memisahkan teori dari praktek, pengetahuan dari tindakan, serta rasio teoritis dari rasio praktis. Peru digarisbawahi bahwa rasio praktis tidak boleh dicampuradukkan dengan rasio instrumental yang hanya memperhitungkan alat atau sarana semata. Madzab Frankfurt menunjukkan bahwa teori atau ilmu yang bebas nilai adalah palsu.  

[1] Disampaikan dalam Darul Arqom Dasar (DAD) IMM Komisariat Al-farabi IAIN Sunan Ampel Surabaya, 15 Januari 2010

[2] Pegiat Ilmu-Ilmu Sosial dan Pemikiran Islam tinggal di Surabaya

[3] Disadur dari makalah Chabib Mustofa, “Frankfurt; Teori Kritis Madzab Frankfurt” yang disampaikan dalam Diklat Penalaran Dasar Unit Pengembangan Intelektual (UKPI) IAIN Sunan Ampel Surabaya, 15 Nopember 2008.